Belajar Aksara Jawa
Apapun yang dilakukan anak, mau
tidak mau orang akan mengaitkan perbuatan anak dengan orang tuanya. Dalam
ungkapan bahasa Jawa dikenal dengan istilah:
Anak polah bapa kepradah.
Arti ungkapan di atas adalah segala
perbuatan anak akan berimbas kepada orang tuanya. Kebetulan kalimat di atas
digunakan kata polah yang berkonotasi negatif. Kalau ada orang yang
disebut kakèhan polah, artinya terlalu banyak tingkah. Kepradah
artinya kurang lebih mendekati dengan ungkapan ‘terkena getahnya’ dalam bahasa
Indonesia. Untuk menggambarkan perilaku yang berkonotasi positif biasanya
menggunakan kata solah atau solah bawa.
Sekarang mari kita lihat aksara Jawa
yang dipakai untuk menulis ungkapan tersebut. Didahului dengan adeg-adeg
yaitu dua garis sejajar vertikal yang berfungsi mengawali kalimat. Kemudian
aksara ha yang dibaca pula sebagai a, aksara na, aksara ka.
Untuk “mematikan” vokal |a| pada ka sehingga kata anaka menjadi anak,
bisa menggunakan pangkon, bisa menggunakan aksara pasangan. Karena posisi kata anak
bukan pada akhir kalimat, maka digunakan aksara pasangan pa. Aksara pasangan
pa ditulis sejajar di belakang aksara ka. Agar bunyi pa
menjadi po, maka ditambahkan sandhangan taling-tarung. Penulisan taling
di depan aksara ka, penulisan tarung setelah aksara pasangan
pa. Jadi taling-tarung-nya tidak mengapit aksara pasangan pa,
melainkan mengapit aksara ka dan aksara pasangan pa. Sehingga
bunyinya sekarang menjadi anak po-. Supaya lengkap, ditambahkan
berikutnya aksara la dan sandhangan wignyan yang bentuknya
seperti angka 2 dengan ekor panjang. Jadilah anak polah.
Bapa kepradah, ditulis menggunakan aksara ba nglegena (ba
tanpa sandhangan), aksara pa nglegena, aksara ka ditambah sandhangan
pêpêt di atasnya, aksara pa dirangkai dengan sandhangan cakra
di bawahnya, dan aksara da ditambah sandhangan wignyan di
belakangnya, diakhiri dengan pada lungsi yang berfungsi sebagai titik.
Kembali pada penulisan sandhangan
taling-tarung, ada ungkapan lain yang posisi penulisan taling-tarung-nya
mirip. Perhatikan ungkapan berikut:
Keplok ora tombok.
Posisi penulisan sandhangan
taling-tarung dalam ungkapan kedua yang mirip dengan ungkapan pertama
adalah pada aksara ka pada kata keplok dan o pada kata ora.
Di situ taling-tarung mengapit aksara ka dan pasangan ha
yang ditulis sejajar.
Pada ungkapan kedua ini banyak
digunakan sandhangan taling-tarung. Pertama, pada kata keplok
taling-tarung mengapit aksara pa dan pasangan la di bawahnya.
Sehingga kata keplak menjadi keplok. Karena posisi penulisan
pasangan la yang di bawah aksara pa, maka sepintas seolah-olah
taling-tarung hanya mengapit aksara pa. Inilah yang biasanya menyebabkan
keliru posisi penulisan taling-tarung manakala harus dirangkai dengan
pasangan ha, sa, dan pa karena ketiga pasangan ini ditulis
sejajar dengan aksara Jawa. Kedua, sudah dibahas, yaitu penulisan taling-tarung
yang mengapit aksara ka dan pasangan ha. Ketiga dan keempat,
penulisan taling-tarung pada kata tombok.
Keplok ora tombok, berarti ikut bersenang-senang tetapi enggan mengeluarkan
biaya dan/atau tenaga. Maunya ikut senang-senang, tetapi tidak mau ikut
menanggung pembiayaan dan tenaganya. Keplok artinya bertepuk tangan.
Biasanya kita bertepuk tangan pada waktu gembira. Tombok, menanggung
kerugian. Jika ada orang yang maunya cuma ikut keplok-keplok tetapi ogah
tombok, keplak (tampar) saja… hehehe…
Ungkapan terakhir dalam tulisan ini
adalah:
Sapa salah seleh.
Ungkapan sapa salah sèlèh
bermakna setiap orang yang melakukan kesalahan/kejahatan pada waktunya nanti akan
terkuak juga kesalahan/kejahatannya. Penulisan ungkapan ini dengan aksara Jawa
lebih sederhana dibanding 2 ungkapan sebelumnya. Di dalam penulisannya dijumpai
sandhangan taling, tanpa tarung. Sandhangan taling ini
untuk membentuk bunyi |è| seperti e pada kata net (jaring) atau juga
bunyi e benar |é| seperti pada kata Medan.
0 komentar:
Posting Komentar