Pages

Rabu, 01 Januari 2014

sinau aksara jawa yuk:)


Belajar Aksara Jawa
Apapun yang dilakukan anak, mau tidak mau orang akan mengaitkan perbuatan anak dengan orang tuanya. Dalam ungkapan bahasa Jawa dikenal dengan istilah:
13802036871883195126
Anak polah bapa kepradah.
Arti ungkapan di atas adalah segala perbuatan anak akan berimbas kepada orang tuanya. Kebetulan kalimat di atas digunakan kata polah yang berkonotasi negatif. Kalau ada orang yang disebut kakèhan polah, artinya terlalu banyak tingkah. Kepradah artinya kurang lebih mendekati dengan ungkapan ‘terkena getahnya’ dalam bahasa Indonesia. Untuk menggambarkan perilaku yang berkonotasi positif biasanya menggunakan kata solah atau solah bawa.
Sekarang mari kita lihat aksara Jawa yang dipakai untuk menulis ungkapan tersebut. Didahului dengan adeg-adeg yaitu dua garis sejajar vertikal yang berfungsi mengawali kalimat. Kemudian aksara ha yang dibaca pula sebagai a, aksara na, aksara ka. Untuk “mematikan” vokal |a| pada ka sehingga kata anaka menjadi anak, bisa menggunakan pangkon, bisa menggunakan aksara pasangan. Karena posisi kata anak bukan pada akhir kalimat, maka digunakan aksara pasangan pa. Aksara pasangan pa ditulis sejajar di belakang aksara ka. Agar bunyi pa menjadi po, maka ditambahkan sandhangan taling-tarung. Penulisan taling di depan aksara ka, penulisan tarung setelah aksara pasangan pa. Jadi taling-tarung-nya tidak mengapit aksara pasangan pa, melainkan mengapit aksara ka dan aksara pasangan pa. Sehingga bunyinya sekarang menjadi anak po-. Supaya lengkap, ditambahkan berikutnya aksara la dan sandhangan wignyan yang bentuknya seperti angka 2 dengan ekor panjang. Jadilah anak polah.
Bapa kepradah, ditulis menggunakan aksara ba nglegena (ba tanpa sandhangan), aksara pa nglegena, aksara ka ditambah sandhangan pêpêt di atasnya, aksara pa dirangkai dengan sandhangan cakra di bawahnya, dan aksara da ditambah sandhangan wignyan di belakangnya, diakhiri dengan pada lungsi yang berfungsi sebagai titik.
Kembali pada penulisan sandhangan taling-tarung, ada ungkapan lain yang posisi penulisan taling-tarung-nya mirip. Perhatikan ungkapan berikut:
13802055361895049044
Keplok ora tombok.
Posisi penulisan sandhangan taling-tarung dalam ungkapan kedua yang mirip dengan ungkapan pertama adalah pada aksara ka pada kata keplok dan o pada kata ora. Di situ taling-tarung mengapit aksara ka dan pasangan ha yang ditulis sejajar.
Pada ungkapan kedua ini banyak digunakan sandhangan taling-tarung. Pertama, pada kata keplok taling-tarung mengapit aksara pa dan pasangan la di bawahnya. Sehingga kata keplak menjadi keplok. Karena posisi penulisan pasangan la yang di bawah aksara pa, maka sepintas seolah-olah taling-tarung hanya mengapit aksara pa. Inilah yang biasanya menyebabkan keliru posisi penulisan taling-tarung manakala harus dirangkai dengan pasangan ha, sa, dan pa karena ketiga pasangan ini ditulis sejajar dengan aksara Jawa. Kedua, sudah dibahas, yaitu penulisan taling-tarung yang mengapit aksara ka dan pasangan ha. Ketiga dan keempat, penulisan taling-tarung pada kata tombok.
Keplok ora tombok, berarti ikut bersenang-senang tetapi enggan mengeluarkan biaya dan/atau tenaga. Maunya ikut senang-senang, tetapi tidak mau ikut menanggung pembiayaan dan tenaganya. Keplok artinya bertepuk tangan. Biasanya kita bertepuk tangan pada waktu gembira. Tombok, menanggung kerugian. Jika ada orang yang maunya cuma ikut keplok-keplok tetapi ogah tombok, keplak (tampar) saja… hehehe…
Ungkapan terakhir dalam tulisan ini adalah:
13802072841468404519
Sapa salah seleh.
Ungkapan sapa salah sèlèh bermakna setiap orang yang melakukan kesalahan/kejahatan pada waktunya nanti akan terkuak juga kesalahan/kejahatannya. Penulisan ungkapan ini dengan aksara Jawa lebih sederhana dibanding 2 ungkapan sebelumnya. Di dalam penulisannya dijumpai sandhangan taling, tanpa tarung. Sandhangan taling ini untuk membentuk bunyi |è| seperti e pada kata net (jaring) atau juga bunyi e benar |é| seperti pada kata Medan.

0 komentar:

Posting Komentar